Jumat, 17 September 2010

Sejenak Berbincang Tentang Peran-Peran Kita

"Yang terpenting bukanlah siapa kita, namun bagaimana kita bagi ummat ini, bagi bangsa ini..."-KH. Ahmad Dahlan (Sang Pencerah)-

***

Setiap manusia mempunyai perannya masing-masing dalam menjalani fase kehidupan di dunia ini, dimana antara satu individu dengan individu lainnya bisa jadi pada suatu masa mempunyai peran yang sama, namun di lain waktu bisa jadi mempunyai peran yang berbeda. Dengan berjalannya sang waktu peran masing-masing individu akan terus bertambah, dari awalnya hanya memiliki peran sebagai seorang anak lalu memiliki peran sebagai seorang Kakak atau adik kemudian beranjak menambah perannya sebagai seorang suami/istri dan begitu seterusnya masih akan ada tambahan peran-peran yang akan menggelayut pada pundak kita selama ajal belum menjemput diri, namun satu yang harus kita sadari bahwa tidak berarti dengan adanya peran baru maka peran kita yang dahulu hilang, peran kita yang dahulu tetap harus kita jalankan, karena masing-masing peran ada pertanggungjawabannya. Masing-masing peran tadi sudah pasti memiliki keunikan tersendiri, peran sebagai seorang anak yang merangkap sebagai seorang kakak biasanya membuat orang tersebut menjadi lebih cepat dewasa, walaupun berkaitan dengan kedewasaan diri juga tak lepas dari faktor lingkungan dan pergaulan, namun sepanjang yang saya amati begitulah adanya. Bagi seorang yang memiliki peran sebagai seorang anak dan kakak sekaligus biasanya mendapat amanah dari orang tuanya untuk menjaga adik-adiknya, hal inilah yang mungkin menjadi salah satu faktor yang membuatnya lebih cepat dewasa. Lain lagi dengan seorang yang memiliki peran sebagai seorang anak yang merangkap sebagai adik, biasanya cenderung lebih manja, walaupun lagi-lagi hal ini tidak dapat di generalisir. Hal ini dapat disebabkan karena sebagai seorang anak dan adik biasanya mendapat perhatian yang lebih dari orang tuanya dibanding dengan kakak-kakanya, dan selain itu dia juga merasa ada kakaknya yang dapat melindungi dan membelanya, dan sekali lagi hal ini pun tidak dapat dijadikan justifikasi. Seiring berjalannya sang waktu, seseorang akan bertambah perannya, yang tadinya hanya seorang anak dan kakak/adik bertambah menjadi suami/istri. Tambahan peran ini pun memiliki keunikannya sendiri, dalam peran sebagai suami/istri masing-masing harus memiliki rasa untuk saling memahami dan menerima dengan rela kondisi pasangannya, hal ini sangat diperlukan karena ketika seorang sudah menambah perannya sebagai suami/istri yang ada bukan lagi "aku" atau "kamu" namun "kita" selain itu dari sinilah bunga-bunga cinta mereka akan terus bermekaran dan tak layu dimakan zaman. Tak berhenti sampai disitu, akan ada lagi peran yang kemudian harus kita jalani yaitu peran sebagai orang tua, peran ini pun memiliki keunikannya tersendiri, begitu seterusnya, peran-peran pribadi kita akan terus bertambah, belum lagi dengan peran-peran sosial kita, hal ini pun akan menjadi keniscayaan bagi kita semua.

Berbicara peran sosial kita maka hal ini tak lepas dari kehidupan bermasyarakat dan bernegara kita sebagai makhluk sosial. Ada diantara kita dalam berkehidupan sosial berperan sebagai pemimpin, entah itu memimpin suatu organisasi, perusahaan, atau masyarakat, entah itu peran sebagai Ketua organisasi, Ketua RT, RW, Lurah, Camat, Direktur, Menteri, bahkan Presiden sekalipun. Itu dalam hal kepemimpinan, lain lagi dalam hal karir, ada yang berperan sebagai public figur, PNS, Guru, pengusaha, karyawan swasta, dan lain sebagainya. Selain itu dalam peran sosial yang lain ada peran sebagai Ulama, Ustadz, Kyai atau apapun itu namanya, yang mempunyai tugas untuk membimbing ummat dan sebagai tempat bertanya. Sebagaimana peran pribadi, peran sosial ini juga memiliki keunikannya masing-masing dan tiap-tiap peran itu juga ada pertanggungjawabannya.

Terkait dengan peran sosial ini saya tertarik (lebih tepatnya terinspirasi) dari cuplikan dialog dalam film Sang Pencerah yang disampaikan pada awal tulisan ini "Yang terpenting bukanlah siapa kita, namun bagaimana kita bagi ummat ini, bagi bangsa ini...", bagi saya kutipan ini begitu dalam maknanya, kutipan tersebut dapat dimaknai bahwa janganlah mementingkan akan menjadi siapa kita bagi ummat dan bangsa ini, namun lebih penting lagi bagaimana diri kita bagi ummat dan bangsa ini, apakah sudah ada kontribusi nyata yang kita berikan kepada ummat dan bangsa ini? Sudahkah ada manfaat yang kita bagi untuk ummat dan bangsa ini? Sebagaimana dalam sebuah hadits dijelaskan bahwa "Sebaik-baik manusia adalah siapa yang paling banyak bermanfaat bagi orang lain". Apapun peran sosial kita dan sekecil apapun pastikan bahwa ada kemanfaatan yang telah kita berikan kepada orang lain, kepada ummat ini, dan lebih besar lagi untuk kemajuan bangsa ini.

Dalam menghadapi beberapa permasalahan yang menerpa bangsa dan ummat ini, kesadaran inilah yang perlu ada dalam diri masing-masing elemen bangsa ini. Jangan lagi berpikiran bahwa permasalahan pendidikan adalah tanggung jawab pemerintah atau permasalahan kemiskinan adalah tanggung jawab pemerintah, memang benar itu menjadi tanggung jawab pemerintah tapi apakah ketika pemerintah masih (katakanlah) belum dapat sepenuhnya mengatasi permasalahan tersebut, kita hanya diam bahkan menghujat tanpa bergerak untuk sedikit mengambil peran dalam menuntaskan permasalahan tersebut? Bukankah permasalahan tersebut adalah permasalahan yang melanda bangsa ini? Saudara-saudara kita sendiri? Marilah kita bersama bergerak dalam kebaikan dan perbaikan bangsa dan ummat ini, dengungkan setiap kali membuka mata di pagi hari setelah memuji-Nya, pertanyaan-pertanyaan ini pada diri "Bagaimana diri ini bagi ummat dan bangsa? Sudahkah ada kemanfaatan dan kontribusi dari diri ini? Apakah kemanfaatan dan kontribusi yang akan kubagi hari ini?"

Dengan orang mengingat bagaimana diri kita, kemanfaatan dan kontribusi positif yang telah kita lakukan, maka secara otomatis orang akan mengenang siapa kita, namun jika orang hanya mengingat siapa kita, belum tentu mereka akan mengingat apa-apa kemanfaatan dan kontribusi yang telah kita lakukan.

Lagi-lagi dari film Sang Pencerah tulisan ini mendapatkan inspirasinya, dari kisah dalam film tersebut kita dapat melihat bagaimana KH. Ahmad Dahlan mengambil peran yang belum dapat ditunaikan pihak Keraton Yogyakarta dalam hal pendidikan dan kemiskinan, KH. Ahmad Dahlan kemudian mengambil peran yang belum dapat tertunaikan itu dan dengan semangat kandungan Surat Al-Maa'uun, beliau bersama murid-muridnya mendirikan Sekolah untuk anak-anak pribumi yang kala itu tak dapat kesempatan untuk menyelami samudera ilmu di bangku sekolah dan juga menyantuni fakir miskin di kala itu. Begitulah terkadang dalam beberapa situasi dan kondisi ada kalanya kita harus mengambil peran-peran yang terbengkalai, karena jika bukan kita sebagai anak bangsa yang menginginkan perbaikan dan penyelesaian permasalahan yang melanda bangsa ini maka siapa lagi, siapa lagi yang akan mengambil peran-peran itu? Akankah kita biarkan peran itu tetap terbengkalai padahal bangsa ini butuh seseorang yang mengambil peran-peran tersebut, walau mungkin hanya sekedar sedikit kontribusi kita dalam memainkan peran itu? Karena terkadang, kemanfaatan dan kontribusi yang kita anggap sedikit bisa berarti banyak dan memberikan perubahan yang besar bagi orang lain.

Diakhir tulisan ini, penulis mengajak diri penulis sendiri dan kita semua untuk terus memaksimalkan peran-peran yang kita emban apapun itu untuk dapat memberikan kemanfaatan dan kontribusi bagi orang lain serta bagi kemajuan bangsa dan ummat ini. Selain itu marilah kita bersama senantiasa untuk melakukan perbaikan diri dan persiapan diri untuk memikul peran-peran yang cepat atau lambat akan menggelayut di pundak kita. Mohon maaf jika ada yang kurang berkenan, sangat menyenangkan jika ada yang berkenan menambahi, melengkapi atau bahkan mengkritik tulisan ini, sebagai koreksi dan tambahan pengetahuan penulis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar