Rabu, 24 Maret 2010

Ayah aku rindu padamu

Lekat kupandangi foto diatas meja, terpampang jelas disana seorang lelaki dewasa berkacamata dengan seorang anak lelaki kecil memakai toga bak mahasiswa yang telah diwisuda, seorang anak perempuan kecil yang mengenakan busana muslimah dan seorang perempuan dewasa juga dengan berpakaian muslimah Nampak foto bersama di samping sebuah gedung. Sang lelaki dewasa itulah ayahku, perempuan dewasa itulah ibuku, anak lelaki kecil yang mengenakan toga itulah diriku yang baru saja selesai TPA mengkhatamkan iqro’, dan anak perempuan kecil berpakaian muslimah itulah adik perempuan pertamaku. Masih sangat jelas dalam ingatanku kala itu, begitu antusiasnya ayah dan ibuku menghadiri acara wisuda iqro’-ku tersebut, namun kali ini aku sedang tak ingin membahas acara wisuda itu, namun aku hanya ingin menulis sedikit tentang ayahku, ayah terbaik sepanjang hidupku. Kuswanto itulah nama ayahku lahir tahun 1959 -tahun kelahirannya aku ingat betul, karena tahun beliau meninggal hanya tinggal dibalik saja 1995-, ayah yang hanya kudapati hangat pelukannya dan kasih sayangnya selama 7 tahun, karena ditahun ketujuh Alloh telah memanggilnya kembali. Sungguh aku ingat betul penggalan-penggalan kenangan bersamanya, sering ayahku mengajak luthfi kecil ke kantornya melihat bagaimana ia bekerja mencari nafkah untuk kami keluarganya. Ayahku adalah ayah terbaik sepanjang hidupku walaupun ia hanya lulusan SMK namun tetap ia membanggakanku, bekerja sebagai seorang teknisi di salah satu perusahaan elektronik terbesar di Indonesia kala itu.

Dia selalu ingin memberikan yang terbaik bagi keluarganya terkhusus bagi kami anak-anaknya. Beliau memasukkan diriku ke Taman Pendidikan Al-qur’an di Masjid Agung Baitussalam Purwokerto -masjid pertama dimana ku belajar huruf hijaiyah bersama ilmu tajwidnya-, kala itu aku berumur 5 tahun (kalau tak salah). Walaupun saat itu aku termasuk anak yang agak susah untuk berangkat mengaji namun Ibuku tersayang tak lelah membujukku untuk berangkat mengaji. Dan satu hal yang tak kan kulupa adalah saat dimana ku pulang mengaji, ibu bersama adikku datang menjemput lalu kami bertiga ke kantor ayah yang tak jauh dari masjid, untuk selanjutnya pulang bersama ayah, entah itu mampir dulu ke pasar kaki lima untuk membeli makanan atau langsung pulang, ehm…jika kuingat masa itu indah sungguh indah kurasa. Dan karena itulah inginku kelak ketika berkeluarga bias berjalan-jalan bersama istri dan anakku menikmati indahnya suasana senja, karena aku sudah pernah merasakannya bersama ayah bunda dan adikku, maka aku pun ingin anakku kelak dapat merasakannya juga. Dengan ayah yang bekerja sebagai pegawai swasta dan ibuku yang seorang guru SMA Negeri, boleh dikata kehidupan kami berkecukupan, ketika teman-temanku baru memiliki TV hitam putih, ayahku sudah mampu membelikan kami TV berwarna -yang masih ada hingga kini-, ketika keluarga teman-temanku di kampong beum memiliki sepeda motor, ayahku sudah mampu membelikan kami sepeda motor -yang juga masih ada hingga kini-. Namun terlepas dari itu semua satu hal yang sangat kusyukuri dan harus juga kuucapkan terima kasih kepada ayahku adalah dengan memasukkan aku ke Taman Pendidikan Al-qur’an, karenanya ketika teman-temanku di kampung belum lancar melafazkan huruf hijaiyah, aku Alhamdulillah sudah lancar melafazkan bahkan beberapa surat dalam Al-qur’an telah kuhapal.

Kebersamaan yang indah yang juga masih lekat dalam ingatanku adalah ketika ayah pulang agak malam karena ada lembur di tempat kerjanya, aku, ibu, dan adik menungguinya pulang, dan ketika ia berucap salam kami langsung menghambur membukakan pintu untuknya, lalu langsung aku minta digendongnya dan adikku dibopong di depan,sementara ibu meraih tas ayahku dan barang bawaannya serta membawakan sepatunya, ehm…indah rasanya kala itu, beruntungnya aku dilahirkan di tengah keluarga yang begitu harmonis. Namun kehangatan dan kebersamaan itu hanya berlangsung 7 tahun saja, tak begitu lama, saat aku berusia 7 tahun, adikku 5 tahun, dan adik keduaku berusia 8 bulan hamper menuju 9 bulan dalam kandungan ibuku, Alloh memanggil ayahku untuk kembali pada-Nya. Sungguh aku sangat ingat ketika pagi itu, sebagaimana biasa ayah mengajakku mengantarku ke sekolah, namun diriku yang sedang asyik berangkat berjalan kaki bersama teman-temanku memilih untuk berjalan kaki, dan begitu kagetnya diriku ketika pulang sekolah ibu pamanku mengajakku ke rumah sakit, bingung aku kenapa diajak kesana, padahal sakit pun tidak diriku, dan bertanya diri ini, kemanakah adik, ibu dan ayah? Dan pertanyaanku itu baru terjawab ketika sampainya diriku di rumah sakit, disuatu ruangan disana ibuku terduduk di pinggi ranjang, adikku digendong bibiku, dan di ranjang itu terbaring ayahku, tak begitu parah kelihatannya, karena hanya lecet-lecet saja di beberapa bagian kaki dan tangannya. Ku mendekat padanya dan kucium takdzim tangannya, beberapa hari dirawat di rumah sakit itu, kemudian ayahku dibawa ke Jogjakarta, begitu kata pihak rumah sakit, karena ternyata ada organ dalam yang terkena efek kecelakaan yang menimpa ayahku, ya ayahku masuk rumah sakit karena kecelakaan ketika ia mengendarai motor yang baru saja dibelinya. Aku dan adikku ditinggal dirumah, hanya ibu dan pamanku yang berangkat ke jogja bersama ayah. Dan ketika takbir berkumandang dan saling bersahutan di hari raya Iedhul Adha, setelah selesai sholat, diriku dan beberapa orang telah berkumpul di halaman rumah salah satu imam masjid di kampung kami untuk menyaksikan prosesi penyembelihan hewan qurban, namun entah mengapa tiba-tiba diriku menangis, sungguh aku tak tahu mengapa ku menangis sampai orang di sekitarku bingung, namun selang sebentar saja, suara sirine ambulans mengaung, memecah suka cita Iedhul Adha, dan tiba-tiba kaka sepupuku memintaku untuk ikut pulang kerumah bersamanya. Aku bingung ketika tak jauh ku kan tiba di rumah, di jalan depan rumahku kulihat ambulans tadi, dan di halaman rumahku sudah ramai orang berkumpul, sungguh saat itu aku tak tahu apa yang terjadi, dan saat ku sampai dirumah lalu masuk ke rumah, baru kutahu disana jenazah ayahku telah terbujur kaku, tak ayal aku pun menangis, dan kulihat adikku pun ikut menangis, serta kulihat ibuku terlihat sangat shock, dengan kondisi hamil besar anak ketiganya, sang pencari nafkah keluarga, tulang punggung keluarga pergi meninggalkannya, tanpa sempat melihat adik keduaku lahir dan mendengar tangisan pertamanya.

Kejadian itu sudah 15 tahun yang lalu, namun tetap ketika kuingat kembali air mata ini tak tertahankan, dan aku sungguh sangat bersyukur karena masih sempat bersama adik pertamaku merasakan kasih saying ayahku, tak seperti adikku yang hanya dapat memandangi fotonya di album keluarga kami. Trenyuh saat bersama ibuku ke makam ayah sambil ibu menggendong adik keduaku yang masih bayi saat itu. Namun itulah yang terbaik bagi ayahku dan keluarga kami, karena setelah dewasa baru kusadari hikmahnya, dengan kepergian ayah, Alloh jadikanku anak yang lebih mandiri lagi, lebih menghargai usaha keras ibuku yang juga berperan sebagai kepala keluarga dalam mencari nafkah untuk menghidupi kami anak-anaknya.

Ya Alloh ampunilah dosa kedua orang tuaku, sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangiku sewaktu aku kecil, muliakanlah mereka didunia dan akherat, lindnungilah mereka dari adzab kubur dan adzab jahannam, jadikan mereka ahli syurga-Mu, kumpulkanlah kelak kami di syurga-Mu...Aamiin...

2 komentar:

  1. sabar ya mas , AKU SAMPAI NANGIS baca cerita mas , soalnya aku jg mengalami hal yg serupa , yg lebih menyakitkan lg aku tidak bisa melihat papa aku meninggal , setelah 100 hari aku baru tau kalau papa aku meninggal karena terkena liver

    BalasHapus
  2. iya bu, terima kasih. Sabar juga untuk ibu catur...Semoga Alloh mengampuni dosa dan kesalahan ayah dari ibu catur...Aamiin.

    BalasHapus