Lama ia pandangi wajah itu, wajah yang selama hampir 3 tahun ini selalu menyambutnya dengan seulas senyum ketika ia pulang bekerja, nyaman rasanya ketika keletihan sedang menyambangi raga, pulang ia dapati senyuman manis dari sang istri. Entah sudah berapa lama ia memandangi wajah itu, dalam keremangan cahaya lampu dengan jelas ia dapat melihat gurat keletihan dan kelelahan disana, “Ya Alloh ridhoilah ia sebagaimana aku ridho kepadanya…” bisiknya dalam hati, lalu perlahan ia mendekatinya, dikecupnya dahi sang istri dengan lembut, dan seketika itu pula istrinya menggeliyat namun masih tetap tertidur, lalu perlahan ia langkahkan kaki menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu, dan ketika melihat jam dinding disana menunjukkan pukul 02.30 dini hari, “Ehm..masih cukup waktunya” kembali ia membatin, digelarnya sajadah dan mulailah ia menghadap Robb-Nya, bermunajat kepada-Nya. Selesai sholat tahajud, ia palingkan mukanya menuju ranjang, dan kembali ia pandangi wajah yang ada disana, lama seperti waktu tadi, tersenyum ia namun disertai tetesan air mata, “Ya Alloh terima kasih Engkau telah karuniakan ia menjadi pendamping hidupku…lindungilah ia selalu, kuatkanlah langkah kami dalam melayar bahtera rumah tangga menuju keridhoan-Mu…Ya Alloh ampuni dosa-dosanya…Ya Alloh jagalah cinta ini…cinta yang mengharapkan kecintaan-Mu pada kami…” lirih ia berucap sembari air mata terus mengalir di pipinya, teringat ketika awal mereka bertemu, sungguh pertemuan yang tak terduga. Saat ia sudah berusaha kesana-kemari mencari calon istri, mulai dari kota kelahirannya, kota tempat ia bekerja sekarang, sampai kota dulu tempat kuliahnya, sudah ia coba untuk memasukkan biodatanya kepada temannya, yang ia kenal sebagai orang yang amanah, empat calon ia sodorkan kepada ibundanya, namun tidak ada yang bisa meluluhkan hati ibundanya, dan ketika ia memutuskan untuk rehat sejenak, tidak mau terlalu ngoyo, tiba-tiba masuk satu biodata kepadanya, dari temannya yang berada di kota kelahirannya, Yogyakarta, dengan seksama ia baca biodata tersebut, ehm…beberapa kriteria dari ibu masuk, dan ketika ia lihat fotonya, subhanalloh…sempat minder juga dia “Apa mau akhwat cantik kaya gini sama aku ya?” namun segera ia tepis keminderannya itu, “Bismillahirrohmanirrohim, Ya Alloh jika memang ia adalah jodohku, mudahkanlah aku untuk bersanding dengannya di pelaminan, dan bersama jalani bahtera rumah tangga dibawah naungan keberkahan dan keridhoan-Mu….” Ucapnya. Dan Alhamdulillah Alloh memudahkan urusannya, begitu ia tunjukkan biodata sang akhwat kepada ibundanya, setelah lama mengamati, akhirnya keluar kata setuju dari ibundanya, “Gimana bu?” tanyanya penasaran
“Ehm…kalau kamu gimana? Merasa cocok ngga?” Tanya ibundanya
“Kalau Hanif InsyaAlloh cocok, ibu bagaimana? Ini udah yang kelima lho bu? Lagian beberapa syarat dari ibu juga ada padanya, walaupun tidak semua, kan susah bu cari yang semua syarat ibu ada pada seorang wanita?” jawabnya
“Iya….ngga semua terpenuhi juga ga masalah kok, yo wis kalau kamu memang cocok, ibu merestui, tapi tetep kamu harus istikhoroh Nif, mohon petunjuk Alloh, karena ini bukan masalah sehari, sebulan atau setahun, tapi ini masalah seumur hidup”
“Nggih Bu…” jawab Hanif
Setelah itu ia langsung menuju kamarnya, dan langsung sujud syukur, malam harinya setelah sholat tahajud ia lanjutkan dengan sholat istikhoroh, begitu setiap malam ia jalani, dan setelah 5 hari, kemantapan itu semakin memenuhi rongga hatinya, hari keenam ia menghubungi Fauzi, teman yang memberikan biodata Nadia, nama akhwat itu,
“InsyaAlloh ane manteb Zi”
“Alhamdulillah, ya udah kalo gitu, besok bisa ga langsung ta’aruf?”
“besok? Emang ente dah kasih biodata ane?”
“udahlah, ane kasih pas sehari setelah ente nerima biodata akhwatnya, daripada nunggu kepastian dari ente, lagian ntar dah nunggu terus akhwatnya ga mau kan kasihan ente, jadi ya mending lebih cepat lebih baik, dan Alhamdulillah akhwatnya juga setuju untuk melanjutkan prosesnya” jelas Fauzi
“ya sudah, InsyaAlloh besok ane bisa, di rumah ente Zi?”
“Yup, di rumah ane, jam 9 pagi ya, soalnya akhwatnya mau sidang skripsi jam 1 siang”
“Oke Zi, InsyaAlloh, Jazakalloh Khoir…”
“Waiyyakum…”
Pembicaraan singkat di telpon itu terus terngiang di pikirannya, “besok? Besok aku akan pertama kali ta’aruf sama seorang akhwat, ah sudahlah mending tilawah saja, daripada hati tidak karuan kayak gini” Hanif bergumam. Esoknya ta’aruf berjalan dengan sederhana, beberapa pertanyaan Ia lontarkan kepada sang akhwat, dan begitu jua sebaliknya, hingga diakhir pertemuan itu Nadia mengajukan pertanyaan terakhir
“Akhi, insyaAlloh ana siap untuk lanjut ke proses berikutnya, jadi kapan akhi akan datang kerumah ana untuk mengkhitbah?”
deg….kaget juga Hanif dengan pertanyaan Nadia, namun segera ia bisa menguasai dirinya, dan ia memang tak ingin terlalu lama, karena tak ingin rasa di hatinya tumbuh sebelum waktunya,
“InsyaAlloh ana besok kembali ke Jakarta, bagaimana kalau pekan depan, hari Ahad?” Tanya hanif
“InsyaAlloh, baik kalau begitu…”
Setelah itu Hanif sungguh merasakan bahagia yang tak dapat ia lukiskan dengan kata-kata, senyum terus terkembang sepanjang ia pulang ke rumahnya, dengan mengendarai sepeda motor yang baru dibelinya 5 bulan yang lalu, ia menyusuri jalanan Yogyakarta sore itu, ya setelah sang akhwat pulang Hanif masih tetap dirumah Fauzi, dari Fauzi ia mendapatkan beberapa nasehat ketika kelak hidup berumah tangga, karena memang Fauzi, teman seangkatannya, namun ia sudah duluan menikah, sudah hampir satu tahun…Ehm…Ya Alloh…terima kasih atas kemudahan ini, hangatnya mentari sore itu menambah kehangatan dalam hatinya yang sedang bertabur bunga-bunga kebahagiaan. Dan sesampainya dirumah ia ceritakan apa yang ia alami pagi hingga siang tadi, dan juga rencananya akan melamar Nadia pekan depan,
“lho ga kecepetan to le?”
“ngga bu InsyaAlloh”
“yo wis, ntar ibu bilang ke pakdemu, biar dia siap pekan depan, tapi ibu kok pingin ketemu sama Nadia yo le, bisa ngga besok dia suruh maen kesini?”
“InsyaAlloh bu”
Dan segera ia kirimkan sms ke Fauzi, minta tolong disampaikan ke Nadia keinginan ibundanya, lama ia tunggu balasan dari fauzi, dan selepas sholat maghrib baru ada pesan singkat dari Fauzi, yang isinya nadia besok bersedia untuk berkunjung ke rumah Hanif bersama temannya. Pagi itu suasana ruang tamu di rumah hanif sedikit berisik oleh tawa renyah ibundanya dan nadia serta temannya, ternyata ibunda langsung bisa akrab dengan Nadia, hal itu ia ketahui ketika sang ibu bercerita kepadanya sebelum keberangkatannya ke ibu kota.
***
Sepekan telah berlalu, dan ahad siang tadi prosesi khitbah berjalan dengan lancar, setelah sebelumnya hari sabtu ia telah berkunjung seorang diri kerumah Nadia, bertemu dan mengobrol dengan orang tua Nadia. Pada pertemuan ahad itu juga telah disepakati hari dan tanggal pernikahan mereka, orang tua Nadia meminta agar pernikahan dilangsungkan setelah nadia wisuda, yang artinya adalah sebulan kemudian, karena Nadia akan wisuda akhir bulan ini. Dan ketika hari itu tiba, hari dimana ia berikrar janji suci, ikrar yang telah menggantikan yang tadinya haram menjadi halal, ikrar keagungan cinta yang tak lagi semu seperti cinta orang yang masih pacaran, ikrar keagungan cinta yang mengharapkan kecintaan Ilahi Robbi. Ehm…kenangan itu, 3 tahun yang lalu awal ia merajut cinta indah bersama Nadia yang telah menemaninya dikala suka maupun duka. Dan tak salah ia kujuluki sebagai Bidadari Hati Permata Hidupku, pernah ketika memasuki tahun kedua, ketika hari sabtu, yang kebetulan hari libur, ketika berkumandang adzan subuh, Nadia membangunkan Hanif yang malamnya bekerja lembur hingga jam 12 malam, untuk sholat subuh, dengan lembut ia berkata di telinga Hanif
“Mas, sudah subuh mas, itu Alloh sudah memanggil hamba-Nya yang ingin meraih kemenangan…”
“Iya dek…bentar lagi….” sembari membalikkan tubuhnya
“Mas…adek tahu mas cape, tapi apa mas mau bikin adek sedih?” kata nadia, yang membuat Hanif mencoba mengumpulkan kesadarannya
“Lho kok sedih? Kenapa dek?”
“Adek sedih kalau nanti pas mas Hanif di peradilan Alloh, dan ternyata disebutkan mas ngga sholat ke masjid hari ini, adek sedih karena ngga berhasil mbangunin mas…” kata Nadia dengan suara bergetar menahan tangis, yang langsung membuat Hanif terbangun, dan segera ia peluk istrinya yang saat itu sudah mengenakan mukena, ternyata Nadia sedari tadi telah bangun untuk sholat tahajud,
“Ya Alloh…terima kasih atas karunia-Mu ini, terima kasih dek sudah ngingetin mas, maafin mas ya, tadi susah dibangunin, tapi kok ngga dari tadi mbangunin mas, pas adek sholat tahajud?”
“lho, yang ini saja sudah susah mbanguninnya, lagian tadi keliatannya mas capek banget, ngga tega adek mbangunin mas…eh ya sudah cepetan mas, ambil wudhu, terus ke masjid, kayaknya bentar lagi iqomah tuh…” ucapnya sembari tersenyum. Di lain waktu terjadi kebalikannya, suatu ketika di ahad pagi, Hanif ingin mencuci pakaian kotor mereka, karena tahu Nadia malam tadi kecapean setelah mebantu memasak di rumah bu ahmad tetangga mereka untuk acara pernikahan putri mereka, namun ketika ia asyik mencuci, Nadia telah berdiri dibelakangnya dan berkata
“Mas…udah biar nadia aja yang nyuci…”pintanya
“udah, adek istirahat dulu aja, kan kemaren habis masak sampe malem, pasti masih capek…”
“Mas…berilah adek kesempatan untuk meraih pahala-Nya dengan melayani mas Hanif…ya mas ya…tolonglah mas….” Pintanya sembari memelas
“Ehm…ya sudah biar adil adek yang ngucek ntar mas yang bilas, habis itu njemurnya bareng-bareng ya…bolehkan? Mas bukannya mau rebut kesempatan adek berpahala, mas cuma ingin adek ga terlalu kecapean, kan sebagai suami istri harus saling melengkapi, ga harus selalu istri yang masak, nyuci, menyapu, mengepel, kadang suami juga perlu untuk membantu istri meringankan salah satunya, dan hal itu ga mengurangi kewibawaan mas sebagai qowwam adek….ya kan?” jelas hanif sambil tersenyum
“Ya sudah klo emang mas maunya gitu, adek nurut aja, nurut ma mas juga adek dah dapet pahala…”jawab Nadia dengan senyum manisnya
“Nah gitu donk, lagian nyuci bareng juga salah satu cara untuk terus memelihara dan memupuk cinta kita berdua dek…”
“Ih mas…sok romantis dech…” sahut Nadia dengan rona memerah dan senyum menghiasi wajahnya.
Ya, kelebatan kenangan indah itu kembali singgah dipikirannya, betapa besar karunia Alloh pada-Nya, istri yang sholehah, yang senantiasa mengingatkan suaminya ketika ia lalai, kini ada disampingnya, inilah hikmah dibalik penantiannya dulu, inilah buah dari sebuah kesabaran, Alhamdulillah, atas segala karunia-Mu Ya Alloh, batin Hanif.
***
Masih ia terpaku berdiri disamping ranjang memandangi wajah nadia, sembari mengingat kenangan indah bersamanya, sungguh terkadang ia terlalu egois, ketika pulang kerja, ia seperti tak memberi istrinya bercerita, selalu ia yang memulai bercerita, tentang pekerjaannya di kantor, tentang perjalanan pulangnya, dan dengan sabar nadia mendengarkannya. Walaupun tak meminta, Hanif sadar bahwa Nadia pun perlu bercerita tentang kegiatannya seharian, tentang polah tingkah anak-anak yang diajarnya mengaji sore tadi, tentang pengajian siang ba’da dhuhur bersama ibu-ibu di lingkungan rumahnya, dan Nadia pun perlu bahunya untuk menyandarkan segala beban dan kelelahannya hari itu, ya….walaupun tak meminta tetapi Hanif sadar bahwa Nadia pun seorang wanita normal pada umumnya, yang ingin diperhatikan, ingin dimengerti, ingin sebuah romantisme dari suaminya. Dan hari ini, hari milad pernikahan mereka yang ketiga ia berencana untuk memanjakan istrinya. Perlahan ia langkahkan kakinya menuju dapur, jam didinding menunjukkan pukul 03.30, “ehm…masih cukup waktu” ia bergumam. Dengan senyum yang mengembang ia mulai menyiapkan bahan yang diperlukan, yang memang sore tadi telah ia beli. Hari ini ia akan membuatkan sarapan untuk sang istri, salah satu makanan kesenangan Nadia, sop ayam dan tempe goreng, namun sebelum ia mulai memasak, ia teringat sesuatu, bergegas ia kembali ke kamarnya, ia buka tas kerjanya disana telah ada sekuntum mawar merah dan sebuah kertas, dengan perlahan ia letakkan bunga mawar itu diatas kertas tadi tepat di meja di samping istrinya tidur, lalu setelah itu ia kembali ke dapur. Karena pengalamannya aktif di kepramukaan sejak SMP ia tidak terlalu kesulitan untuk memasak, tepat adzan subuh sop ayamnya telah matang, “Ehm…tempe gorengnya nanti ketika Nadia mau sarapan aja, ini sopnya nanti bisa diangetin lagi…sekarang saatnya sholat subuh”, lalu ia tinggalkan dapur, mangambil air wudhu dan bergegas menuju masjid didekat rumah kontrakannya. Selepas Subuh, ketika ia membuka pintu rumah, terlihat Nadia sudah berdiri, sembari tersenyum dan air mata mengalir di pipinya, dan langsung menhambur memeluk Hanif, sembari terisak ia berkata
“Mas, makasih ya, maafin Nadia yang belum bisa menjadi istri yang baik…Nadia masih kadang kaya anak-anak, Nadia masih sering bikin mas sedih…Nadia…” sebelum sempat istrinya melanjutkan berkata, agak ia mundurkan istrinya dan ia tempelkan telunjuknya di bibir istrinya…
“Ssssttt….udah dek, mas yang harusnya berterima kasih…adek udah sabar hidup bareng sama mas, mas yang masih belum bisa menjadi yang terbaik buat adek, mas terlalu banyak mengeluh, bahu mas masih jarang bisa menjadi sandaran ketika adek sedih….maafin mas ya…Dek…Mas Cinta sama Adek….”
“Adek juga cinta sama mas…Mas…mas yang masak sop ayam ya?”
“Iya…special buat istriku yang tercantik di hati…”
“Ehm…adek juga ada kejutan buat mas…” sembari mengeluarkan sebuah amplop putih dengan logo sebuah rumah sakit bersalin diatasnya, “Ini mas…”
“Adek hamil? Alhamdulillah ya Alloh….” Seketika itu Hanif sujud syukur ketika dibukanya amplop itu, disana terpampang tulisan Positif…
“Mas, makasih juga ya buat mawar dan suratnya…”
Hanif hanya tersenyum mendengar perkataan istrinya, ia kecup mesra dahi istrinya dan kembali ia peluk….Ya Alloh terima kasih atas segalanya…berikan kesehatan dan keselamatan kepada istri dan calon anakku….jadikan ia kelak anak yang sholeh sholeha…” Doa hanif
“Aamiin…” Jawab Nadia yang berada dalam pelukannya…
Teruntuk Bidadari Hatiku
Tiada cukup kiranya puisi sederhana ini mewakili perasaanku padamu
Tiada cukup ku berkata tuk gambarkan keikhlasanmu
Tiada cukup ku berkata untuk semua pengabdianmu
istriku
saat jelas kunikmati parasmu
saat erat kugenggam jemarimu
saat kupandangi senyum manismu
saat kukecup mesra keningmu
saat merdu terdengar suaramu
saat itulah yang akan selalu kurindu
istriku...
kaulah tulang rusukku yang selama ini kucari
Yang kan lengkapi diri ini
kaulah yang Alloh anugerahkan untuk menjadi bidadari hati
yang kan temaniku jalani hari demi hari
Istriku
ketika rembulan tak Purnama
tetap malam terhiasi teduh cahayanya
begitu pun inginku padamu, walau tak sempurna
kasih tulusmu kan tetap jadi hiasan hidupku
dengan balutan keanggunan cinta dalam indahnya taman takwa
berjalan kita bersama
Istriku
ku persiapkan bahu ini untuk kau jadikan sandaran ketika lelah dan letih menyambangimu
ku persiapkan tangan ini tuk membelaimu dengan penuh kasih sayang
dan tuk usap air matamu ketika sedih menghampirimu
Ku tahu mungkin terlihat sederhana
namun memang itulah yang kuinginka
ku ingin mencintaimu dengan sederhana
istriku...
Kita sadari tiada selalu bahagia menyertai
Terkadang jalan terjal harus kita daki
Aral lintang harus kita lalui
Namun adamu disisi buatku tetap langkahkan kaki
tuk terus nahkodai bahtera ini
Dengan layar cinta dan hembusan angin kasih sayang dalam hati
Kita arungi luasnya samudera kehidupan menuju keridhoan ilahi robbi
Harapku Alloh meridhoimu sebagaimana ku ridho terhadapmu
Ketika kurasakan keagungan cinta dengan hadirmu disisi
Terima kasih atas cintamu duhai bidadari hatiku...
Terima kasih atas cintamu duhai bidadari hatiku...
(cerita diatas bukan pengalaman penulis, karena saat menulis sang penulis belum menemukan Bidadari Hatinya...hanya sebuah harapan kelak dimasa depan, ketika romatisme berbuah menjadi pahala...^_^)
cerita yang menyentuh hati.............. mudah - mudahan akupun yang masih singel ini kan mendapatkan istri yang soleha persis dengan gambaran cerita tersebut..........
BalasHapus@ ari3f : Aamiin...terima kasih...sudah mampir kemari...
BalasHapus