Terlahir dari pasangan orang tua pekerja swasta (ayah) dan guru (ibu), boleh dibilang kehidupanku lebih dari cukup, karena ayahku sebagai pekerja swasta suatu perusahaan elektronik yang cukup punya nama di negeri ini ketika itu bergaji lebih besar dari pegawai negeri sipil, saat teman bermainku ada yang rumahnya bagian depan masih ditutupi triplek, karena belum bisa membeli kaca, rumahku bisa dibilang cukup bagus untuk kami tempati, kaca sudah terpasang, lantai sudah memakai keramik bukan hanya cor-coran semen dan ketika televisi, parabola dan video player belum banyak dimiliki orang maka di rumah kami sudah ada dua benda itu, sehingga ketika kami menonton sebuah video atau tayangan televisi swasta yang hanya dapat ditonton dengan menggunakan parabola tak jarang banyak sanak keluarga kami atau teman-temanku ikut nimbrung menonton. Disaat sepeda motor masih menjulang harganya, ayahku sudah mampu membeli 2 sepeda motor. Sepeda motor yang pertama masih bertahan hingga kini, ketika SMP kalau tidak salah, ku bertanya pada bunda tentang motor yang pertama -yang hingga kini masih setia mengantar ibundaku pergi mengajar- “bu motornya ga dijual aja terus nanti ditambahi buat beli yang lebih baru ?” kata bunda “kenang-kenangan bapakmu ini…” namun sepeda motor yang kedua tak berumur lama berada ditengah kami, karena kami terpaksa menjualnya kembali ketika ayahku mendapatkan kecelakaan menggunakan sepeda motor ini, yang kemudian beliau meninggal.
Saat itu aku terlalu kecil untuk bisa mengerti yang namanya kematian. Ketika ayahku berada di rumah sakit setelah beliau mengalami kecelakaan, saat menjenguknya yang kuingat adalah ia tersenyum ketika aku dan adikku datang ke rumah sakit. Kucium tangannya yang ada lecet di beberapa bagiannya, dan aku sebagai seorang anak kecil masih merasa biasa saja, karena pikirku waktu itu, orang yang sakit lalu dirawat di Rumah Sakit maka akan sembuh kembali. Hanya beberapa hari ayahku berada di RS Wijayakusuma Purwokerto karena ayahku harus dibawa ke RS di Yogyakarta karena disana peralatannya lebih lengkap. Tak lama ayahku berada di Yogyakarta, karena empat hari kemudian ia menghembuskan nafasnya yang terakhir, ayahku kembali kepada Alloh Azza wa jalla. Ingat betul aku hari apa ayahku meninggal, beliau meninggal pada salah satu hari raya islam, iedhul adha. Setelah selesai sholat ied, diriku bersama teman-teman ingin melihat prosesi penyembelihan hewan qurban didekat masjid, entah mengapa ketika seekor kambing disembelih, tiba-tiba saja aku menangis, ada rasa sedih didalam diriku yang ku tak tahu apa penyebabnya, ketika saudaraku yang kebetulan ada ditempat itu berusaha menenangkanku suara sirine ambulans meraung-raung, memecah sepinya jalan desa di kampungku. Tangisanku tiba-tiba saja berhenti, karena rasa sedih yang ku tak tahu apa penyebabnya kalah oleh perasaan penasaran siapa yang ada didalam ambulans itu. Tak seberapa lama salah satu kerabat keluarga memanggilku untuk segera pulang, ketika dari jauh terlihat rumahku, disana ada pemandangan yang tak biasa, rumahku ramai…dan kulihat ambulans tadi parkir di depan rumahku persis…!!!
Aku masih belum sadar apa yang sedang terjadi, dekat dan semakin dekat ku kan sampai ke rumahku, kulihat pandangan tetangga-tetanggaku lain padaku, ada kesedihan dan gurat kasihan pada pandangan mereka, dan ketika ku sampai di halaman rumah, tidak kulihat ibuku, “ibu…dimana ibu?” tanyaku pada kakak sepupu, paman, bibi, serta sanak keluarga yang kukenal, dengan sedikit rasa takut karena ku tak tahu apa yang terjadi di rumahku, mereka hanya diam berurai air mata, semakin penasaran kembali ku tanya mereka “ayah…dimana ayah?” lagi-lagi mereka hanya terdiam sambil menahan isak tangis, lalu kulihat adikku terus menggelayut pada salah satu saudaraku, aku masih tak mengerti apa yang terjadi, walaupun sayup-sayup kudengar bahwa keramaian ini karena ayahku telah meninggal, namun aku tak begitu saja percaya, aku masih terus melangkahkan kaki, dan ketika sampai didepan pintu baru kusadari bahwa sayup-sayup perkataan tadi benar adanya, di ruang tamu kulihat disana seonggok keranda, keranda yang biasa digunakan untuk membawa orang yang sudah meninggal ke kuburan. Didalam rumah kulihat saudara dan kerabat keluargaku terlihat sibuk sekali, namun pertanyaanku tadi belum terjawab “dimana ibu? dimana ayah?” kembali ku bertanya sembari merengek kepada salah satu bibiku dan ketika ku hendak bertanya lagi seorang saudaraku membawaku kedalam kamar depan, dan dari jendela disamping kamar ini, kulihat sesosok terbujur kaku sedang dimandikan, sosok yang selama ini tempatku menggelayut, sosok yang dipundaknya sering ku digendong, sosok yang sangat kukenal, AYAH…ya itu AYAH !!! Pecah sudah tangisanku yang sedari tadi tertahan, adikku yang ada disampingku pun ikut menangis, sementara saudaraku berusaha menenangkanku. Selang beberapa waktu, ku dipanggil untuk keluar kamar untuk menuju teras rumahku, entah sudah berapa lama ku menangis sesenggukan didalam kamar tadi, yang kutahu ketika ku sampai di teras, keranda yang tadinya ada di ruang tamu sekarang sudah berada di halaman depan rumahku, dan kulihat sosok itu, IBU…itu IBU…dengan berpakaian warna biru tua, mengenakan kerudung hitam, jelas betul kulihat raut kesedihan di wajahnya, langsung ku menuju padanya, namun ketika akan sampai didekatnya ia terjatuh, IBU pingsan..!!! dengan keadaan sedang hamil umur 8 bulan, ya ibu sedang hamil adik keduaku, adik yang hanya bisa memandangi ayahnya lewat foto yang terabadikan, tanpa bisa merasakan kasih sayangnya.
Setelah pak kyai memberikan pengajian singkat, dilanjutkan salah satu pimpinan kantor ayahku bekerja menyampaikan sepatah dua patah kata, dan ketika itu baru kusadari teman-teman ayah ternyata hampir semua berdatangan melayat, ku mengenal mereka karena hampir setiap sore aku, adik dan ibu dari masjid Agung sepulang dari mengaji selalu ke kantor ayah, sekalian menjemput beliau, jadi teman-teman ayah mengenal baik aku dan adikku. Usai membacakan doa, jenazah ayah dibawa ke pemakaman, sepanjang jalan, ku hanya bisa menangis sambil berjalan dan adikku menangis dalam gendongan bibiku, karena ku tak tahu apa lagi yang kulakukan, yang ku bisa saat itu hanya menangis, dan yang ku tahu bahwa setelah ini tak kan ada lagi yang menjadi tempatku bergelayut, berada dalam gendongan, tak ada lagi tawa ayah, tak ada lagi yang kami tunggui pulang saat malam tiba di rumah.
Waktu terus berganti, aku, ibu dan adik perlahan bisa menerima kepergian ayah, kehidupan kami kembali berjalan normal walaupun tak ada lagi ayah disisi, setelah kematian ayah, untuk beberapa saat kakek nenekku dari pihak ibu menginap di rumahku, menemani ibu yang saat itu sedang hamil besar. Kira-kira sebulan setelah itu, rumah kami kembali ceria dengan kehadiran anggota keluarga baru kami, adik keduaku lahir, tangis manjanya, senyum manisnya, dan tawa renyahnya yang sesekali muncul menghilangkan kesedihan kami karena kematian ayah. Kulihat ibu kini tersenyum bahagia dengan kehadiran adik keduaku ini. Ketika adik keduaku ini sudah bisa diajak berjalan keluar, ibu mengajaknya, aku dan adik pertama ke pemakaman ayah, dan disana kulihat, dengan senyum yang dipaksakan dan tangis yang ditahan beliau berkata “ayah, ini dian sudah lahir…lucu dech yah…” begitu seterusnya seakan ibu sedang mengajak ayah berbincang, lalu ibu memimpin kami berdoa.
Kehidupan kami tanpa ayah, membuat ibu yang seorang guru SMA membuka les privat di rumah, aku ingat betul dengan kondisi seperti itu, waktu SD dulu, selepas kepergian ayah (tepatnya kelas 2 SD), uang sakuku hanya Rp 100-Rp 500/hari ketika banyak teman-teman SD ku mendapat uang saku diatas Rp 500 yang mana pada waktu itu jumlah Rp 1.000 merupakan jumlah yang boleh dibilang wah untuk anak SD seperti kami. Sampai kelas 4 uang saku yang ibu berikan tidak berubah, hingga naik kelas 5 SD ibu menambah uang sakuku menjadi Rp 1.000/hari ketika teman-temanku mendapat uang saku Rp 1.500 dan diatasnya. Kelas 6 SD karena ada kegiatan tambahan sampai sore hari, ibu menambah uang sakuku menjadi Rp 1.500/hari. Aku tak banyak protes mengenai hal ini (yang dikemudian kusadari bahwa inilah proses Alloh memberikan kepadaku pelajaran kehidupan) karena dikeluarga kami tak ada lagi ayah sebagai pencari nafkah, peran ayah dan ibu menjadi satu dalam diri ibunda. Keadaan seperti ini setia menemaniku hingga menginjak bangku SMA dan berlanjut saat kuliah, yang tanpa kusadari dari keadaan inilah ku mulai belajar yang namanya keprihatinan. Salah satu moment yang hingga kini masih lekat dalam ingatan adalah ketika diriku berada di kelas 3 SMA, waktu itu ku mencoba ikut mendaftar Program PMDK IPB, setelah kuberitahu ibu, beliau menjawab “Fi, kalau ayahmu masih ada, kamu mau kuliah dimana saja ibu pasti setuju, namun sekarang tinggal ibu yang mencari nafkah, sementara kedua adikmu juga masih sekolah, jadi ibu mohon kamu batalkan mendaftar program itu, dan cobalah nanti mendaftar kuliah di UNSOED (Universitas Jenderal Soedirman) yang dekat rumah, biar biaya tidak terlalu banyak atau di STAN, yang kuliahnya gratis”, jawaban yang mebuatku trenyuh seketika itu. Dan benar saja, ketika orang tua sudah ridho, maka Alloh pun akan ridho pada kita, itulah yang kualami, setelah lulus SMA, Alhamdulillah diriku diterima di STAN. Hanya satu tahun kuliah, karena memang diriku mengambil Program Diploma Satu, setelah lulus langsung bekerja di Direktorat Jenderal Pajak (DJP), dan Alhamdulillah sekarang sudah dapat membantu ibu untuk biaya sekolah adik.
Dan baru kali ini aku sadari bahwa lewat perjalanan kisah kehidupanku inilah Alloh Subhanahu wa ta’ala mengajarkanku suatu hal yang luar biasa. Memang berat rasanya ketika ayahku meninggalkan diriku, ibu dan adik-adikku, namun dari sinilah Alloh memberikan kepadaku suatu tarbiyah kehidupan, dari sinilah diriku belajar apa yang namanya USAHA dan PRIHATIN. Bisa jadi kalau ayahku masih hidup hingga kini, diriku saat ini tidak berada dalam institusi DJP, bisa saja diriku menjadi anak yang manja kepada ayah ibuku. Inilah hikmah yang dapat kutarik dari potongan perjalanan kehidupanku, bahwa bisa jadi kesedihan, kekecewaan, dan ujian yang menimpa kita saat ini adalah cara Alloh untuk menjadikan hamba-Nya lebih baik dari sebelumnya. Setiap kejadian entah itu kesedihan ataupun kebahagiaan pasti ada hikmahnya, walaupun mungkin tidak saat kejadian itu menimpa kita dapat langsung kita ambil hikmahnya, bisa jadi setelah lewat beberapa hari, bulan bahkan tahun, baru kita sadari dan dapati dari kejadian itu suatu hikmah yang ternyata dengan kejadian tersebut menjadikan kehidupan kita lebih baik dari sebelumnya, dan semua itu tergantung kepada diri kita sendiri apakah kita mau berusaha untuk menarik hikmah yang ada di balik peristiwa tersebut.
Begitulah sebagaimana mendung yang mengiringi datangnya hujan, sedih dan duka terkadang teriringi tetesan air mata,namun tidakkah kau lihat,setelah hujan turun,butiran air hujan membuat rumput dan dedaunan tampak berkilau serta lebih segar,begitu juga hikmah dibalik sedih dan duka,terkadang menumbuhkan kehidupan baru,mungkin tidak sekarang tapi di masa yang akan datang.(copas)
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Q.S. Al-Baqoroh : 216).
assalamu'alaikum...
BalasHapusmembaca posting ntm tentang sepenggal kisah ini membuat saya terdiam beberapa detik... ibu selalu kuat dihadapan anaknya, tak pernah menunjukkan ada keputus asaan. walau bisa jadi ada tangisan yang beliau sembunyikan dari anaknya. tak ada yang bisa menggantikan ibu yang melahirkan kita_as a child says "love you mom"
salam semangat!!
wa'alaykumussalam...terima kasih sudah mampir dan membaca disini...yup saya setuju...SEMANGAT juga...^_^
BalasHapus