Senin, 29 Juni 2009

Menikah : Teori vs Praktek

Judul yang hiperbolis?
tidak juga, disini kita akan bicara sedikit antara teori dan praktek dalam pernikahan. Kok sedikit? ya iyalah, lha yang nulis kan belum menikah, jadi hanya bisa cerita sedikit dari sisi kalangan akademisi (maksudnya kalangan yang bergelut dengan teori-teori), ^_^.
Oke, tulisan ini terinspirasi dari sebuah topik di forum diskusi (Forum Sholahudin), salah seorang member (pak A-HA), beliau menuliskan di topik tersebut seperti ini "Dalam teori vs praktek.... nikah itu sama dengan berenang. Meskipun antum belajar berenang dengan 10 buku tebal, tetapi nggak pernah nyemplung ke air... insya Allah antum tenggelam ketika nyemplung ke air. Sebaliknya... orang desa yg tanpa teori, tetapi nyemplung duluan sambil belajar, maka dia akan bisa berenang.. meskipun akan sulit jadi perenang hebat jika belajar berhenti sampai disitu. Dalam soal nikah, terlalu banyak romansa didalamnya yang hanya bisa dirasakan, tetapi sulit diteorikan. Itulah kenapa Rasulullah sampai menyampaikan bahwa nikah adalah setengah Din"

Yup, tulisan beliau, sepertinya sudah mewakili untuk tulisan ini, tapi ijinkan saya sedikit saja berbicara mengenai hal ini dan mohon koreksi jika ada salah dari saya.

Sudah banyak buku yang mengupas hal-hal pernikahan, buku-buku tersebut tidak hanya menyampaikan hal-hal indah dalam pernikahan dan kehidupan rumah tangga tapi juga problematika yang mungkin akan muncul setelah menikah dan memulai kehidupan berumah tangga. Kalau begitu apakah teori dalam pernikahan itu perlu?
Jelas teori itu tetap diperlukan, paling tidak teori-teori dasar tentang pernikahan dan hidup berumah tangga, sehingga ketika memulai kehidupan yang baru kita tidak terlalu kaget dengan hal-hal yang menjadi problem dalam kehidupan berumah tangga. Namun jangan terlalu asyik dalam berteori sehingga lupa untuk mempraktekkan teori yang sudah dipelajari, seperti ilustrasi yang digambarkan diatas. Ketika kita belajar teori tentang berenang maka kita tidak bisa mengatakan bahwa berenang itu mengasyikkan, dan juga kita tidak dapat mengatakan berenang itu menyehatkan hanya dengan membaca teorinya, sebelum kita benar-benar mempraktekkan berenang dan merasakan manfaatnya. Oleh karena itu ketika orang sudah mengatakan siap untuk menikah salah satu kesiapannya adalah pengetahuan akan hal-hal dasar (minimal) mengenai pernikahan (teori), selain kesiapan mental akan amanah dan tanggung jawabnya sebagai suami nantinya, dan juga kesiapan dalam hal finansial. Jadi sudah seharusnya antara teori dan praktek berjalan beriringan.

Rabu, 24 Juni 2009

Hingga ujung Usia

Waktu terus berganti
melibas segala yang terlewati
tinggalkan masa-masa penuh arti
di dalam bilik-bilik ruang hati

Kini masih di tepian dermaga ku berdiri
menatap cakrawala samudera kehidupan ini
bertemankan hembusan angin kerinduan dalam hati
ku kan tetap menanti

Ku coba bertahan lewati semua ini
dengan keikhlasan dan kesabaran diri
ku kan coba tuk menanti ,mencari dan mencari
hingga kau kutemukan duhai bidadari hati

Namun waktu tak pernah mau kompromi
perlahan tapi pasti usia menggerogoti diri
hingga ku masih bertemankan sepi dan sendiri
namun ku tak pernah merasa sepi
karena Alloh selalu di sisi
Dialah kekasih yang Sejati
Cinta-Nya adalah cinta yang hakiki

Hingga ujung usia
ku kan menanti
dengan keimanan dihati
kurasakan bahagia dalam diri

Kamis, 18 Juni 2009

Dari jalanan ku belajar....

Jalanan jakarta mengajarkanku banyak hal, darinya kutemui sosok pengemis baik tua ataupun anak-anak yang sebenarnya mereka lebih berhak untuk menghabiskan masa kecilnya untuk bermain bersama teman-temannya, dan bermanja kepada orang tuanya, di jalanan pula kutemui para pengamen, dan para tukang penjual makanan ataupun yang lain yang mendorong gerobak dagangannya, walaupun belum tentu hari itu ada dagangan mereka yang laku.

Jika sudah seperti ini maka hanya penyesalan yang timbul di hati, beribu tanya muncul pada dinding-dinding hati ini,
"Mengapa saya selama ini kurang bersyukur?"
"Mengapa dengan penghasilan yang terbilang lebih dari cukup terkadang masih merasa kurang?"
"Mengapa masih saja mengeluh akan pekerjaan sedangkan sudah pasti setiap bulan ada penghasilan, sementara di luaran sana masih banyak yang untuk makan hari itupun entah ada atau tidak walaupun sudah berpanas terik matahari berbasah kuyup oleh hujan?"
"Mengapa masih ada saja kemaksiatan dari diri ini?"

Jalanan Jakarta mengajarkanku banyak hal, mungkin terdengar berlebihan, tapi tidak kawan, aku memang banyak belajar dari jalanan. Mungkin inilah hikmah Alloh mentakdirkan ku untuk menyusun puzzle-puzzle kehidupanku di ibukota ini. Setiap malam ketika ku pulang dari kantor, ada saja di persimpangan atau perempatan jalan orang yang meminta-minta bahkan ku melihat kebanyakan mereka adalah anak-anak, aku tak tahu kemana orang tua mereka, mungkin orang tua mereka pun sedang berpeluh keringat untuk menghidupi keluarganya, dan anak-anak ini dengan kesadaran sendiri ingin membantu orang tua mereka....wallohu a'alam, kita hanya bisa berprasangka baik pada mereka. Padahal dalam Islam meminta-minta itu adalah perbuatan yang tidak baik, ada hadits dari Rasululloh tentang orang yang meminta-minta, namun tidak pas kalau dibicarakan disini karena banyak buku dan ulama yang lebih berkompeten.

Perjalanan menyusuri jalanan ibukota memberikan pengalaman dan pelajaran yang sangat berarti untuk ku. Pernah suatu kali dalam perjalanan bersama teman kantor di siang yang terik, menggunakan mobil ber-AC, dari kaca mobil kulihat bapak-bapak sudah agak tua, mendorong gerobak jualannya, dari dalam mobil lekat kunikmati pemandangan itu, kulihat wajahnya yang berpeluh, Ya Alloh, dia sedang berusaha menjemput Rizqi-Mu, teriknya mentari tak menyurutkan langkahnya mendorong gerobak yang berisi dagangannya karena ia tahu bahwa anak istrinya sedang menunggunya di rumah dengan segenggam harapan. Harapan yang mungkin bahwa mereka paling tidak bisa makan untuk hari ini....lalu ku coba untuk menilik diri ini, mencoba melihat pantulan diriku dari kaca mobil yang ku tumpangi, hingga hati pun mneyahuti, "Aku berkerja di dalam ruangan tanpa harus merasakan terik sang mentari, dengan penghasilan tetap yang setiap bulan ku dapati, mengapa aku terkadang masih mengeluh dengan beban pekerjaanku, sementara di luaran sana ada yang berpanas terik sang mentari, menyusuri jalanan ini, hingga peluh keringat membasahi, masih pantaskah aku mengeluh?" bermonolog hatiku kala itu...ternyata diri ini tidak lebih baik dari bapak itu......

Keadaan seperti ini selalu memunculkan tanya dalam diri, "Siapa yang bertanggung jawab ketika ada anak-anak yang seharusnya mereka menikmati masa-masa indah namun harus sudah bekerja mencari nafkah?"
Orang tuanya?
Pemimpin negeri ini?
atau kita semua?

entahlah, aku pun tak menemui jawabannya...

Ya Alloh ampuni hamba-Mu yang terkadang kufur akan nikmat-Mu,
Ya Alloh jadikanlah hamba menjadi hamba-Mu yang pandai mensyukuri nikmat-Mu...
Ya Alloh karuniakanlah kepada negeri ini pemimpin yang adil, yang amanah, yang senantiasa dalam ketaatan kepada-Mu dan mengikuti sunnah Rosul-Mu....
Aamiin...

Jalanan mengajarkan ku akan arti sebuah rasa syukur...jalanan mangajarkan ku akan arti sebuah perjuangan....

Sungguh indah cara-Mu mengingatkan ku ya Alloh......